The Curse of The Weeping Woman




“You don’t need to be religious to have faith.”

Yep, kira-kira begitulah sedikit kutipan dari film The Curse of The Weeping Woman. Kenapa dialog itu begitu kuingat? Umm.. mungkin karena relatable ya. Tapi, bukan itu yang mau kita bahas. Kali ini, bahasannya tentu saja terkait ulasan mengenai film The Curse of The Weeping Woman.

Poster The Curse of The Weeping Woman || Sumber: ScreenScoop

The Curse of The Weeping Woman sebelumnya berjudul The Curse of La Llorona. Sebenarnya, ini bukan pergantian judul pertama pada film yang awalnya akan diberi judul The Children ini. Ada beberapa spekulasi terkait pergantian judul pada film yang disutradarai oleh Michael Chaves ini. Salah satunya adalah untuk menyesuaikan dengan pasar Amerika. Terlepas dari hal itu, film yang rilis tanggal 17 April 2019 di Indonesia ini masih bisa kalian nikmati lho di bioskop.

The Curse of The Weeping Woman menceritakan tentang sosok iblis wanita bernama La Llorona yang meneror anak-anak untuk dia jadikan “anaknya”. Ummm sebenarnya deskripsi Llorona pada film agak membingungkan menurutku. Awalnya, sebelum filmnya dirilis, sosok La Llorona diperkenalkan sebagai iblis yang akan membawa anak-anak yang membangkang perintah orang tuanya ke dunianya (dunia kematian). Akan tetapi, dalam film, sosok La Llorona lebih dicitrakan sebagai sosok iblis yang penuh dendam yang meneror keluarga dengan dua orang anak. Alasan Llorona menghantui sebuah keluarga pun akhirnya jadi ambigu. FYI, film ini mengangkat cerita yang didasarkan pada folklore daerah Amerika Latin, yaitu Mexico.

Sumber: fandango.com

Keunggulan film berdurasi 1 jam 33 menit ini salah satunya adalah plotnya. Plot pada film ini bisa terbilang berisi. Jadi, ada storyline yang bisa disuguhkan. Selain itu, akting dari para casts-nya juga terbilang sangat apik. Kalau dari tingkat keseramannya sih, film ini gak jauh beda dengan film horor mainstream lainnya yang begitu bertumpu pada setting ruangan gelap dan adegan jumpscare yang berlimpah. Akan tetapi, film ini juga bisa membuat penonton jadi geregetan di beberapa scene. Well... gimana gak geregetan coba, terutama lihat tingkahnya Samantha (diperankan oleh Jaynee-Lynne Kinchen), anak kedua dari Anna Tate-Garcia (diperankan oleh Linda Cardellini) saat dia berusaha  mengambil bonekanya. Kok bisa??? Udah tonton aja. Hehehe.

"Aku yang bikin geregetan?"//"JELAAAS" || Sumber: Star2.com

Daya tarik lainnya dari film The Curse of The Weeping Woman ini tentu saja adalah sosok La Llorona itu sendiri. Well, karena ini merupakan bagian dari Conjuring Universe, pasti beberapa orang (termasuk aku) akan ngebandingin sosok Llorona dengan Valak. Kalau disuruh milih yang lebih bagus antara film Valak atau La Llorona, dengan mempertimbangkan segala aspek, aku akan memberikan nilai yang berimbang. Kalau untuk Llorona sendiri sih, menurutku sangat kecil sekali kemungkinan untuk dibuatnya sekuel. Alasannya sederhana, yaitu konflik di film ini telah berakhir. Oh ya satu lagi, daya tarik dari film ini adalah lagu opening dan closing-nya yang begitu terasa angelic tapi juga serem. What a combo!!!

Kalau dari segi kekurangan, seperti yang telah kusebutkan sebelumnya, motif teror dari Llorona menjadi ambigu dan terasa kabur. Jumpscare yang menjadi potensi utama seram dari film ini sebenarnya malah mengurangi nilai dari film ini. padahal, film ini punya basis cerita yang sangat bisa dieksploitasi. Selain itu, usaha untuk menjadikan film ini sebagai bagian dari Conjuring Universe nyatanya tidak terlalu berpengaruh secara signifikan. Sedikit kilas balik tentang Annabelle malah hanya berkesan sebagai scene filler saja. Kesimpulannya, film ini adalah stereotipikal film horor mainstream.

Dan... inilah saatnya penilaian. Berdasarkan IMDb, film yang di Indonesia disebut kuntilanaknya Amerika ini (bahkan ada yang nyebut film wewe gombel 😅) hanya mendapat nilai 6,1 dari 10. Sementara itu, berdasarkan Tomatometer-nya Rotten Tomatoes, film ini hanya mendapat nilai 36% aja. Kalau berdasarkan Mas Dedy Setyawan nih😁😁😁, dengan mempertimbangkan aspek yang telah kusebutkan ditambah dengan adanya humor yang penempatannya pas (gak kayak di Infinity War *ups), nilai yang kukasih adalah 6,8.

Sekian ulasan film kali ini. Bagi kalian yang tidak terlalu mengikuti atau belum nonton semua film Conjuring Universe lainnya, gak perlu khawatir. Kontribusinya Cuma dikit banget kok dan tidak akan berdampak besar pada pemahaman kalian terhadap film ini. See you, ta raaaaaa 😉

"Sampai jumpa di bioskop" || Sumber: thehindu.com




Your lovable writer,



Dedy Setyawan




***Einaym Petuhoth***

Comments

Popular posts from this blog

Film Bertema Okultisme Bagian Kedua